Jum’at pagi menjadi hari bersejarah tepatnya sehari sebelum memasuki bulan suci ramadhan. Jum’at cerah itu telah mencerahkan penghuni kampus hijau sehingga gelora mujahadah nampak membara! Nafas mujahadah pun menjulang menyesaki angkasa. Hari dimana kami mendengar keputusan pihak kampus, keputusan yang menentukan dimana kami akan mengabdikan secuil ilmu yang pernah kami dapati di kampus ini. semua yang bertahan mendapatkan bagian, ada yang merasa sedikit kecewa karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan. Namun tidak ada kata bantahan, yang ada hanya kata sami’na wa ‘atha’na! dan nafas mujahadah itu kini telah menembus langit ke tujuh!
Burung yang sedari pagi terbang mencari rejeki kini kembali ke sarangnya dan berdzikir padaNya, saat itu pula kata perpisahan kuucap di depanmu sambil menunduk, tak berani menatapmu. Seolah jiwaku runtuh, persendianku terlepas, ada bulir bening yang mengintip. Aku menahannya, mencoba kuat. Mendengar ucapanku kau kaget seraya bertasbih, tasbih kau ulang beberapa kali membuat aku mendonggakkan kepala, kutaatap matamu, kenapa matamu memerah? Wajahmu juga memerah? Sedang bibirmu masih bertasbih. Aku kembali menunduk.
Kau mengusap punggungku sambil memberi nasihat agar aku kuat di medan dakwah yang mungkin akan terjal, bagaikan sang ayah memberi nasihat kepada anaknya, dan sekujur tubuhku merasakan kedamaian dan keharuan. Aku tak berani menatapmu, tetap menunduk tidak kuat. Air bening itu semakin deras terjangannya, namun masih kucoba untuk membendungnya.
“Aku pasti akan merindukan nasihatmu dan wajah teduhmu,” ucapku mencoba menatap dengan segunjing senyum, senyum yang sakit! Kau memalingkan wajah, matamu berkaca kembali kau mengucap tasbih. Kau tak menatapku lagi, yang kulihat hanya punggungmu yang semakin menjauh.
Tangisku masih tertahan sampai kau hilang dari pandangan, setelah itu pertahananku bobol tak kuat menahan beban. Bulir bening itu berjatuhan, Ya Allah… Semoga Engkau menguatkanku di jalanMu. dan lindungilah dia yang telah kuanggap sebagai murabbiku. Amin yaa Rabb. Yah aku pasti akan merindukan nasihat da wajah teduhnya.
Biarlah tubuh ini terpelanting dalam kerja-kerja besar. Biarkan tubuh digilas kepenatan yang mendera. Biarkan saja tubuh yang lemah ini terseok demi merasakan dahsyatnya perjuangan. Jika terlalu memanjakannya dia hanya akan menjadi bahan bakar di jahannam. Tubuh nikmatilah kepenatan ini! kepenatan yang begitu nikmat. Jiwa…imbangi kepenatan dengan dzikrullah, tawazunlah!
Aku rindu bintang itu… bintang yang kembali bersinar! Ada ketenangan saat bersamanya. Sangat terasa ruh keimanan yang menggelora dan keluhuran akhlak yang membingkai jasad. Bintang! Subuh kembali berbicara tentangmu, kamu pantas untuk dirindukan.
Berkibarlah bendera kemenangan di atas pucak kehormatan. Berkibarlah dengan gagahnya! Putih sebagai lambang kesucian perjuangan para pembebasmu, merah sebagai tanda keberanian walau harus banjir darah menyirami tanahmu. Tanahmu basah oleh siraman air mata pengorbanan dan darah penghabisan, tanahmu terbebas dengan penggalan kepala para pejuangmu. Oh Indonesiaku!
Perjuangan panjang dan melelahkan telah ditempuh para pemberani demi terciptanya kemerdekaan, mereka tidak rela anak-anaknya dijajah oleh pihak sang perampas dan pengecut! Mereka enggan tanah air ini dikuasai oleh kaum penggilas dan penjilat. Kita harus merdeka dari kaum bodoh yang ceroboh. Mereka pun berjuang dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada. Dan ibu pertiwi pun tersenyum menyambut perjuangan mereka…. Allahu akbar! Indonesia telah merdeka.
Senin 17 Agustus 09
Saat bendera merah putih berkibar dengan gagahnya!