Siang itu matahari cukup menyengat, tapi bukan karena itu aku menjadi gerah. Melainkan sebuah berita yang membuatku bungkam. Empat puluh warga miskin makan nasi aking di Karuwisi. Aku tersentak. Hati nuraniku terpanggil sekaligus dipertanyakan. Adakah hati ini masih bisa merasakan penderitaan sesama? Sungguh!
Namanya Nursiah, perempuan paruh baya asal Mamuju. Wajahnya tampak malu saat kamera disorotkan kearahnya. Sambil menggendong anaknya dia mulai bercerita tentang kehidupannya di Makassar sejak beberapa tahun yang lalu.
Nursiah namanya, ibu dari enam anak. Tiga diantaranya sudah menghadap sang pencipta. Dengan wajah yang pucat dia melanjutkan kisahnya. Hidup di Makassar sangat membutuhkan perjuangan, mengingat dirinya hanyalah seorang pendatang dari jauh. Dari mamuju.
Saat ditanya, apakah dia tidak mau pulang kampung saja untuk kehidupan yang lebih baik? Perempuan berumur empat puluh tahun itu tersenyum. “ Bagaimana mau pulang, sewa mobil itu mahal apalagi untuk satu keluarga. Dan buat apa juga pulang, di kampung sudah tidak ada apa-apa. Semua barang di sana sudah dijual untuk biaya operasi waktu saya sakit.” Ungkapnya polos dengan senyum getir.
Tentang pemberitaan nasi aking, perempuan bermata sipit itu mengakui hal tersebut, “ Yah mau diapa lagi, kita Cuma rakyat kecil yang miskin.” Ucapnya sambil mengelus rambut anak perempuannya. Anak berambut ikal itu lagi sakit. Sakitnya parah, kalau anak itu buang air besar maka yang keluar disertai dengan nanah. Sang anak hanya merengek sambil menggigit jari kelingkingnya.
Bukan hanya Nursiah yang mengalami hal itu. Ada empat puluh kepala kelurga yang lain merasakan hal yang sama. Mereka mengaku tidak diperhatikan oleh pemerintah. Tetangga Nursiah mengungkapkan bahwa mereka biasa hanya makan sekali dalam sehari, itupun dengan nasi yang sudah dikeringkan lalu dimasak kembali. “ yah sisa nasi kami keringkan, atau kami biasa mencari sisa nasi dari restoran lalu kami keringkan.” Tuturnya.
Tentunya kejadian ini begitu memilukan. Apalagi di bulan suci Ramadan ini. Percuma rasanya ritual sebulan penuh ini, jika kita belum peka terhadap hal yang seperti ini. Bukankah puasa mentarbiyah kita unntuk merasakan penderitaan mereka?
Tak pernah disangka di balik bangunan yang mewah di sepanjang jalan urip sumoharjo terpampang pemukiman yang kumuh. Ternyata di balik gedung mewah yang menjulang ada pemandangan yang begitu memilukan. Dimana pemerintah? Adakah dia menjalankan amanah yang yang telah diberikan kepadanya. Ataukah dia hanya pencuri suara rakyat dan setelah itu bermegah dengan jabatannya. Mana janjimu pemerintah yang terhormat?
Dan yang menggelitik menurut penulis adalah, tempat dimana ada warga yang makan nasi aking sejak tiga tahun terakhir ini adalah kawasan salah satu calon walikota. Stiker mereka banyak tertempel disekitar tempat itu, bahkan di rumah Nursiah. Wajah yang tersenyum dengan hiasan janji-janjinya tertempel di pintu rumah Nursiah. Buktikan kalau kamu memang calon pemimpin yang baik! Kita tunggu saj berita selanjutnya. Mungkin pemukiman kumuh itu segera terganti dengan bangunan yang mewah. Lalu kemana Nursiah akan pergi berteduh? Kalau itu terjadi maka saya lah orang pertama yang mengatakan pemerintah kejam!
0 komentar:
Posting Komentar