3.29.2009

Muhasabah Jiwa yang Futur

Ingin berteriak sekeras-kerasnya mengadukan semua apa yang kualami. Tersiksa dan perih menahan semua cobaan. Cobaan yang sangat berat buat hati yang sedang risau, buat hati yang selama ini kuyu, jauh dari sinaran hidayah. Cobaan yang begitu memilukan bagi hati yang kehilangan keikhlasannya. Hati… kenapa kamu begitu lemah? Apakah kamu kurang kekuatan untuk menghantam semua cobaan itu? alangkah susahnya menjadi orang ikhlas.

Muhasabah ini tersadarkan oleh riakan ombak laut, tiupan angin malam yang seolah membisik akan sebuah kejadian yang sangat menyakitkan. Yah kematian. Sudah siapkah diri ini menerimanya? Menjemputnya dengan khusnul khatimah? Akupun terhentak dan terpanggil untuk bermuhasabah diri. Mencaci diri dengan segala dosa yang telah kulakukan, hati yang telah kusakiti, lidah yang tak bisa terjaga, mata yang selalu melanggar aturan. Ah begitu naif diri ini berbicara tentang ini dan itu, berpura dalam kesenduhan dan kegersangan hati. Dan semakin lama muhasabah itu terbawa oleh angin sepertiga malam yang sangat dahsyat. Angin itu membelai membuatku tersedu, terasa Allah mengelus-ngelus rambutku lewat ciptaannya. Ah indahnya angin malam ini, dan Allah pun mulai bercerita.

Bercerita lewat riakan ombak malam ini, sang ombak hannya beriak tenang membawa kedamaian. angin pun bercerita dengan sentuhan halusnya, bagai ibu yang mengelus anaknya dengan penuh kasih. Namun nun jauh disana ada ombak yang sedang mengamuk, ada angin yang sedang membabi buta. Mereka semua tunduk dan patuh pada perintah sang pencipta. Lalu diri yang hina ini tidakkah mengambil pelajaran dari alam? Afalaa tazakkaruun? Afalaa tufakkirun?

Muhasabah ini menghantarkan pada tekad yang satu, tekad yang kuat. Memparbaiki diri untuk tetap berbakti dan berbuat yang terbaik. Sebuah karya besar kalau tidak dilahirkan dengan hati yang dipenuhi hidayah dan wajah yang dirihoi, maka karya besar itu akan menjadi hal yang sia-sia. Dan pencipta karya tersebut akan mudah terjatuh karena tidak ada pegangan, tidak ada penyokong, penyemangat dan pelembut hati.

Berbuat yang terbaik bukan berarti mengurangi waktu ibadah. Jiwa aktivis yang dulu bergemuruh jangan diredupkan, tilawah yang satu juz perhari dijaga baik2, shaum senin-kamis terus disemaikan, doa malam yang dulu menghiasi sepertiga malam terus dilantunkan, berlembut hati menjadi akhlak yang melekat pada diri, kata yang terucap tetap terbingkai dalam koridor syariah, dzikir tetaplah menjadi penghias bibir. Ah jiwa ini rindu akan wajah yang diridhoi. Jiwa ini rinda pada jiwa sang kekasih Allah, jiwa ini teramat rindu pada sosok Umar Ibn Khattab.

Saatnya berbuat yang terbaik dan terbingkai kekuatan ruhiyah yang kuat. Agar pandangan ini teduh dan menyenangkan bagi orang yang ditatap, wajah ini cerah agar membahagiakan orang yang menatap, kata ini santun agar menggetarkan bagi siapa yang mendengarnya.

Mana mungkin kata hikmah yang menggetarkan bisa keluar dari mulut seorang fujur, mana mungkin kemenangan dakwah bisa terwujud dari tangan orang lalai.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template