1.23.2009

Jeritan Tong sampah

Terpanggang sinar matahari yang membakar menjadi santapanku setiap hari. Kadang air hujan pun turun mengguyur membuatku basah kuyup, tapi aku tak pernah beranjak dari tempatku. Tetap berdiri di pojok jalan menikmati semua tingkah angkuh manusia. Melihat mereka tertawa terbahak menikmati kebahagiaan, tanpa sadar bahaya sedang mengintai mereka. Yah..bahaya itu datang akibat ulahnya sendiri.
Pagi ini kembali kumenatap mentari di timur, cahayanya menghangatkanku yang semalam diguyur hujan deras. Seperti biasa, Diana, bocah kecil yang tinggal di sekitar kanal yang kotor datang menyapaku. Dengan mukanya yang lusuh dia menyambut pagi bersama perut yang keroncongan. Langkahnya tertatih ke arahku. Apa yang akan aku berikan padanya? aku tidak punya apa-apa. Bahkan nasi sisa yang biasanya didapatkan Diana dariku kini tak ada lagi. Bocah itu semakin mendekat, bibirnya mengucapkan sesuatu yang tak kumengerti. Mungkin dia sedang berdendang menghibur dirinya.
Tangan mungilnya menyentuh kulitku yang sudah lecet. Kemudian dia mulai memasukkan tangannya mencari sesuatu yang bisa dijadikan pengganjal perut. Tapi tak ada yang dia dapatkan, aku kosong tak berisi apa-apa. Yah…sebagai tempat sampah aku merasa tidak berguna, karena tidak dimanfaatkan manusia. Mereka lebih suka membuang sampahnya di tengah jalanan, di selokan dan kanal.
Sejak berada di tempat ini dua tahun yang lalu, hanya sedikit manusia yang mau mempergunakanku sebagaimana mestinya. Itupun dulu sewaktu Haji Makmur dan istrinya masih berjualan di pasar ini. Setiap pagi mereka mengisiku dengan sampah, aku merasa sangat bangga dan tersanjung. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi. Mereka sudah pindah ke tempat yang lain, aku sedih tak ada lagi yang peduli padaku. Bahkan manusia yang angkuh sering mencaciku, katanya aku menghalangi jalan mereka.
Ah sudahlah…aku masih bersabar dengan segala perlakuan manusia. Biarkan berjalan apa adanya. Yang aku pikir sekarang adalah Diana yang menangis di dekatku sambil memegang perutnya. Ah..andai saja Haji Makmur masih ada disini. Pasti si kecil Diana tak kelaparan seperti ini. yah pasangan suami istri itu sangat mencintai Diana dan menganggapnya sebagai anak sendiri.
“ Aku lapar…” desah Diana sambil menatapku nanar, andai saja aku bisa berbicara, aku akan menghibur dan berdendang untuknya. Tapi apalah artinya daku yang hanya sebuah tong sampah tua. Dan Diana pun melangkah meninggalkanku dengan mata yang sembab. Entah mau kemana bocah itu.
>>>>>
Seorang laki berpostur tinggi berjalan ke arahku sambil membawa kantongan besar. Hatiku berlonjak girang mengharap kantongan itu akan menjadi bagianku. Langkahnya semakin dekat membuatku berdedar hebat, apalagi ketika dia berhenti tepat di depanku. Dia tersenyum, akupun membalas senyumnya walau ia tidak tahu bahwa aku tersenyum padanya. Senyumku ini adalah senyum termanis menyambut seorang yang akan peduli padaku, tapi….
“ Tong sampah jelek, karatan, mana bisa menampung sampah.” Hujatnya sambil berlalu dan melemparkan sampah itu di kanal. Senyumku pudar digantikan amarah yang meninggi. Aku tidak mau lagi berada disini, aku capek dengan perlakuan manusia. Aku merutuki nasibku, tapi lagi-lagi wajah Diana tergambar jelas. Dimana lagi dia akan menumpahkan air matanya kalau aku tidak lagi disini? Loh memangnya aku bisa berjalan dan melarikan diri dari tempat yang begitu menyiksa ini? kapankah ini akan berakhir?
“ Woi..tong sampah! Aku marah pada manusia! kenapa yang menjadi hakmu semua dilimpahkan padaku?” Teriak kanal kepadaku dengan nada jengkel. Aku tersadar bahwa korban keteteledoran manusia bukan hanya aku, tapi juga kanal. Dulu airnya begitu jernih, banyak orang yang suka memandanginya. Tiap Minggu pagi orang ramai berdatangan hanya untuk menyaksikan aliran airnya yang begitu jernih. Tapi kini manusia enggan untuk menoleh ke arahnya, bahkan ketika mereka melihat kanal perasaan ingin muntah yang muncul. Mereka menutup hidung karena tak tahan akan bau kanal, tanpa sadar bahwa mereka sendiri yang menyebabkan semua ini terjadi.
“ Aku juga kanal! Aku marah, karena manusia tidak pernah memperhatikanku.” Jawabku
“ Apa mereka tidak takut dengan bahaya yang akan ditimbulkan oleh ulah mereka ini?”
“ Entahlah! Aku sudah tak tahan dengan kelakuan manusia.”
“ Aku juga, tapi kita harus bersabar, semoga saja manusia sadar.”
“ butuh waktu berapa lama?”
“ sampai kesabaran itu hilang.” Katanya, dan suasana kembali senyap.
>>>>>>
Mengingat perkataan orang yang pernah menghujatku, aku jadi tersadar bahwa aku memang sudah tua untuk memikul beban yang berat. Di bagian tubuhku terdapat lobang-lobang kecil yang menambah kelemahanku. Tapi aku tidak peduli, biarkan aku memikul semua beban itu sampai aku hancur karenanya. Dari pada aku hanya menganggur menanti kehancuran itu datang.
Kembali kumenyambut pagi dengan segunjing senyum yang dipaksakan. tapi senyum itu menjadi senyum yang terindah ketika melihat sosok yang begitu menyejukkanku. Haji Makmur datang bersama istrinya. Setelah melihat kanal dia menatapku dengan kening berkerut.
“ Tong sampah sudah tua yah?” tanyanya pada istrinya
“ Iya sudah karatan dan berlubang dimana-mana.”
“ kita cat yah? Biar kelihatan baru.” Tawarnya pada istrinya
“ Baiklah.”
Aku tersenyum bangga dengan kulitku yang baru. Warnaku yang cerah banyak menarik perhatian orang. Para penghuni pasar heran melihatku. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang menyulapku seperti ini. jauh diseberang jalan haji Makmur dan istrinya tersenyum bangga.
“ Wah siapa yang ngecat tong sampah jelek ini?” Tanya seorang penjual pisang
“ Kurang tahu. Jadi kelihatan baru yah?” jawab ibu lainnya
“ Iya..”
“ Loh..kenapa buang sampah di kanal? Inikan ada tempat sampah?” Tegur seorang ibu pada lelaki yang dulu menghujatku saat akan membuang sampah di kanal.
“ tempat sampah itu masih baru, sayang kalau kotor.” Jawabnya tersenyum sinis
“ iya juga yah.” Timpal ibu-ibu yang lain. kemudian mereka berombongan membuang sampah di kanal. Aku terperangah, saya kira dengan wajahku yang baru, aku akan dipergunakan dengan baik. Tapi toh kenyataannya tidak.
“ Hei..manusia! kenapa kalian seperti ini! aku bukan tempat sampah.” Teriak kanal ketika sampah berjatuhan ke arahnya. Tapi manusia tiada peduli.
“ Aku marah!” teriaknya lagi
“ Apakah kesabaran itu masih ada?” tanyaku pada kanal tapi tidak digubris. Yang kudengar hanya gemuruh amarah kanal yang kian memuncak. Mungkin kesabarannya sudah habis.
>>>>>
langit tak berbintang menambah kelamnya malam. Angin malam menghembuskan hawa dingin yang begitu menyengat. Sepertinya langit akan menumpahkan airnya ke bumi. Dan benar saja, rintikan hujan mulai turun dan lama-kelamaan menjadi hujan deras. Hujan kali ini lebih deras dari sebelumnya.
“ Tong sampah kini saatnya kita marah?” Suara kanal bergemuruh diantara derasnya hujan
“ maksud kamu?” Tanyaku heran
“ Biarkan manusia merasakan hasil ulahnya selama ini. biartan mereka menangis!” teriak kanal dengan nada puas.
“ Tolong…tolong…banjir!!” teriakan para warga pasar dan sekitar kanal berebutan memecah langit. Aku jadi teringat Diana. Bagaimana nasibnya?
“ Ha…ha…rasakan kalian orang sombong!” kanal mengumpat
Dan kulihat beberapa orang terbawa arus di bawah sana dan air kian meninggi sampai menyentuh tubuhku. Aku mau lari tapi tidak mungkin, biarlah! Mungkin ini adalah akhir dari semuanya. Ketika air hampir menenggelamkanku tiba-tiba tubuhku diangkat oleh seorang laki-laki. Bukankah orang itu? Yah dia yang pernah menghujatku dengan mengatakan aku tempat sampah yang tua. Orang yang tadi pagi tidak mau membuang sampah padaku. kenapa dia menyelamatkanku? Adakah dia kasihan?
“ ha..ha..daripada kamu ikut hanyut, lebih baik kamu dijual.” Katanya terkekeh meninggalkan lokasi banjir. Inikah alasannya tadi pagi sehingga dia tidak mau mengotoriku dengan sampah? Ah..aku akan dijual? Lalu Diana?
“ Tolong….” Aku tersentak mendangar teriakan Diana.
“ Diana…!!” Teriakku melihat Diana terbawa arus, sedang aku sudah dibawa lari oleh pencuri. Akankah besok aku masih menjadi tempat sampah? Ataukah menjadi barang timbangan?
“ tong sampah…kamu dimana? Kita balas dendam. Ha..ha..” terdengar suara kanal yang seakan menghilang.
>>>>>>
Kudengar berita bahwa banyak manusia menjadi korban banjir, diantaranya tewas terbawa arus dan tertimpa reruntuhan. aku hanya berharap Diana selamat dalam peristiwa itu. Lamunanku disadarkan oleh tempaan yang begitu keras menghantam tubuhku. Aku menjerit, ternyata riwayatku di ambang batas. Dengan sekuat tenaga laki-laki itu menghantamku dengan palu besar, akupun berteriak menahan sakit. Sebelum aku pergi untuk selamanya, aku hanya berpesan pada manusia. agar mereka menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya. Semoga kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template