1.23.2009

Senandung Kepedihan I

Rumah, pagi hari

Pagi yang indah menyambutku saat kuterbangun. Cahaya mentari masuk lewat celah-selah jendela, sepertinya dia mengucapkan selamat pagi padaku atas keberhasilanku. Yah keberhasilanku menggaet kumbang yang selama ini dinantikan setiap bunga, dan bunga itu termasuk aku, walaupun sampai sekarang aku tak tahu aku termasuk bunga jenis apa.

Aku melenggang dalam kamar sambil mendendangkan lagu cinta, menggambarkan betapa senangnya aku hari ini. hariku seakan dipenuhi dengan warna merah jambu. Beginikah rasanya orang jatuh cinta? Ada perasaan membuncah yang tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata. Perasaan itu memberi motivasi hidup, karena pangeran telah berdiri disana dan menanti. Oh…betapa bahagianya!
Sebuah kado kembali kutatap sambil tersenyum. Kado berwarna hijau muda itu tersimpan rapi di meja belajarku. Kado itu mengingatkanku kepada orang yang selama ini mencuri hatiku dan membuatku tidak berdaya karena cinta. Namnaya Alan, Tahukah kau? Dia memberikannya kemarin saat hari ulang tahunku. Dengan nada malu dia mengucapkan sesuatu padaku.

“ Za. Mungkin aku salah telah mencintaimu, tapi aku tidak tahu dengan perasaanku ini.” katanya

“ Tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Kita akan melangkah menempuh segala rintangan yang menghalangi cinta kita.” kataku meyakinkannya, dan dia pun tersenyum padaku. tahukah kamu? Saat itu aku melihat senyum terindah terukir di bibirnya. Untuk pertama kalinya! So sweat……

>>>>>>

Kampus, siang hari

“ Eza!” Suara itu menghentikan langkahku dan aku menoleh ke asal suara

“ Gimana kabar bapak di rumah? Sehat?” Tanya laki-laki bertubuh jangkung itu.

“ Baik Di!” Jawabku ketus, aku sangat tidak senang dengan laki-laki berparas kebulean di depanku ini. namanya Hadi, dia sepupuku.

“ Kok kamu gitu amat za?” Tanyanya lagi, mungkin dai tersinggung dengan sikapku

“ Hem…pasti kamu tahu jawabannya! Tolong kamu jangan campuri urusanku dengan Alan! Dan jangan sampai bapak tahu masalah ini!”

“ Aku berhak ikut campur, jalan kamu ini salah!” Jawabnya lantang

“ itu yang tidak kusuka dari kamu..selama kamu masih seperti ini maka jangan harap aku akan berlaku baik sama kamu.” ucapku sambil meninggalkannya. Aku tak tahu ekspresinya kayak gimana. Dia benar-benar menjengkelkan.

“ Habis ngomong apa kamu sama dia?” Alan mencegatku di gerbang kampus, ternyata dia melihatku ngobrol sama Hadi. Apakah Alan cemburu? Aku merasa sedikit tersanjung.

“ kamu cemburu yah?” godaku sambil menggandeng tangannya.

“ Huz! Jangan! Ga enak diliat ma teman-teman.” Katanya sambil menepis pegenganku

“ Hem..kenapa sih kalau mereka tahu kalau kita sedang pacaran?” tanyaku lagi, Alan hanya menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti. Tapi jelas sekali bahwa tatapan itu sangat tidak menyenangkan. Apakah dia jengkel?

>>>>>

Rumah, saat pulang kuliah

Kembali kutampakkan muka jutek di depan mama, papa dan seluruh penghuni rumah saat aku pulang. Aku sangat jengkel sama mereka yang tidak pernah mendukung apa yang kulakukan. Mereka selalu menentangnya dengan dalih bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Inilah susahnya dilahirkan dan dibesarkan di kalangan orang yang beragama, ada –ada saja larangannya. Hem…jengkel.

“ Za! Kenapa sih kamu selalu bermuka masam kalau berada di rumah?” Tanya mama dengan suara halusnya.

“ Gimana tidak bermuka masam kalau rumah ini kayak neraka buat Eza!”

“ Cukup! Kamu tidak boleh ngomong seperti itu sama mama kamu!” gertak papa, akupun langsung ngacir ke kamar, “ Dasar anak tak tahu diri, hanya bisa menancapkan duri di hati orang tua. Mau jadi apa kamu?” Teriak ayah. Aku menutup telinga.

Aku membanting tubuh kurusku di ranjang sambil menghela nafas panjang. Dadaku terasa sesak dengan permasalahnku hari ini. ternyata tak selamanya aku bisa tersenyum, hanya sesaat. Walaupun Alan sudah resmi menjadi gandenganku tapi toh sama saja dengan hari kemarin. Dia tak mau menampakkan kemesraan di tengan orang banyak, bahkan dia selalu menghindar saat aku mendekat.

“ Apa kata orang kalau melihat kita seperti ini.” Katanya

“ Kita kan pacaran Lan!” Tegasku

“ Iya tapi bukan disini.”

Setidaknya begitulah yang kualami tadi siang di kampus. Aku masih bertanya-tanya kenapa Alan seperti itu? Apakah dia tidak serius denganku? Ataukah benar isu yang mengatakan kalau Alan ada hubungan dengan Azkiah? Pertanyaan itu mengaduk-ngaduk pikiranku.

>>>>>

Malam ini aku sangat gelisah memikirkan keadaanku yang sekarang. Tentang cintaku yang kata orang cinta terlarang. Lah apa peduliku! Cinta itu adalah fitrah! Bukan begitu? Kutatap foto Alan yang sedang tersenyum. Kubalas senyum dalam foto itu. Maafkan aku Lan? Kayaknya cinta kita masih terpasung! Kataku lirih. Dalam lamunanku, tiba-tiba hapeku berdenyit, ada pesan masuk.

Za! Aku pinjam Alan malam ini yah? Cuma mau ngajak ikut kajian kok. Hehehe. Hadi

Aku menggerutu membaca sms dari Hadi. Kurang ajar dia! Aku takut dia akan mempengaruhi Alan dengan pemahaman bodohnya. Apalagi dia anti pacaran. Gila……! Rahangku mengeras karena marah.

Knp km selalu mencampuri urusanku. Awas kalau kamu mempengaruhi my honey!

>>>>>

Pagi, di rumah Alan

Aku sangat khawatir dengan Alan. Apalagi dia tidak ke kampus hari ini, akupun tak mengikuti mata kuliah. Aku ingin memastikan Alan ada di rumahnya dalam keadaan baik-baik saja. Perasaanku semakin tak menentu karena HP nya tidak pernah aktif. Ada apa denganmu say?

Saat hendak memasuki rumah Alan aku melihat ada beberapa motor terparkir di halaman rumahnya. Salah satu diantara motor tersebut sangat kukenali. Motornya Hadi. Hem..jadi Hadi ada di dalam yah? Aku semakin dongkol.

“ yah sih aku juga mendambakan wanita yang berjilbab.” Suara itu samar-samar terdengar, aku mendekat agar bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Suara itu sangat kukenal. Yah suara Alan. Apa? Alan suka wanita berjilbab? Aku meraba rambutku yang tidak tertutupi oleh apa-apa.

“ Yah..Erna kan berjilbab.” Hadi menanggapi.

“ Yeah sih, tapi mana mungkin Azkiah mau sama saya, dia itu maunya sama laki-laki macam kalian yang agamis.” Balas Alan. Aku tak sanggup mendengarkan semua ocehan mereka. Dadaku terasa nyeri menahan sakit hati yang sangat dalam. Ternyata Hadi mulai menggerogoti pikiran Alan. Karena tidak tahan, aku langsung kabur dari tempat itu.

>>>>

Kupandangi wajahku di cermin. Hari ini aku tampil beda, sekarang kepalaku terbungkus kain yang namanya kerudung. Aku merasa wajahku sangat lucu memakainya, tapi tidak jelak-jelak amat kok. Yang penting Alan bisa senang. Dan aku tahu apa yang kulakukan ini akan di bantah habis-habisan oleh orang tuaku. Dan terbukti saat aku keluar kamar, mama sampai pingsan saat melihatku.

“ Eza! Apa-apaan kamu ini. lepas kerudung itu. Ayahmu bisa saja memukulmu kalau dia melihatmu seperti ini.” Teriak mama ketika melihatku.

“ Ma! Sudahlah! Kalian jangan mengekang Eza terus, eza pengen bebas ma!”

“ Lepas kerudung itu atau ku bunuh kau! Kamu ingin mempermalukan papa?” Teriak papa lantang.

“ Ayo pa! bunuh Eza kalau berani. Selama ini papa selalu memaksa Eza untuk mengikuti kemauan papa, tapi kali ini Eza membantah. Eza mau bebas.” Bantahku. Kulihat wajah papa memerah. Aku tersenyum kecut.

“ Dasar anak kurang ajar!” Papa melemparku dengan tongkat, dan brengsek kaki menjadi sasaran.

“ Aduhh…” Teriakku, melihat kejadian itu mama langsung tak sadarkan diri. Aku merintih kesakitan dan kesempatan itu dipergunakan papa untuk melepas kerudungku. Aku sedikit tersedak karena kerudung yang melilit di leherku ditarik paksa oleh papa.

“ kamu benar-benar keterlaluan! Kamu sengaja ingin mempermalukan keluarga kita.”

Dalam keadaan yang menegangkan itu, Hadi datang. Dia sangat kaget ketika ayah menceritakan apa yang kulakukan barusan. Hadi geleng-geleng kepala sambil mengambil kerudung yang masih berada di tangan papa, ia kemudian membuang jauh-jauh kerudung itu dariku. Mataku memanas meilhatnya, dan dia hanya tersenyum sinis.

>>>>

Walaupun sudah dipukul oleh papa karena memakai kerudung, itu tidak membuatku kapok. Buktinya pagi ini aku ke kampus dengan gaya baru, aku lebih ayu dengan kerudung itu. Banyak mata yang memandangku dengan pandangan aneh, ada pula yang bersiul saat aku lewat di depannya. Bahkan ada yang mengira aku mahasiswi baru. Aku yang dipandang seperti itu hanya tersenyum puas.aku tetap melenggok dengan dandanan baruku, celana jeans biru, baju ketat dan kerudung mungil. Sempurna!

“ Alan!” Aku menyapa Alan di kantin, cowok berparas mandarin itu kaget bukan main.

“ Eza…?” Kalimatnya menggantung

“ Iya aku lakukan ini demi kamu.” Kataku, banyak mata yang memandangan ke arah kami.

“ Sudah Za! Aku tidak mencintai kamu lagi, apalagi keadaanmu seperti ini, aku malu punya teman seperti kamu.” Katanya menatapku tajam

“ Lho? Katanya kamu suka orang yang pake kerudung.” Aku protes

“ Iya memang, tapi itu bukan kamu. Kamu gila yah. Malu-maluin aku disini.” Alan membentakku, baru kali ini aku mendengar gertakannya, sampai-sampai air mataku mengalir karenanya.

“ Jadi mau kamu apa?”

“ Lepas kerudungmu itu.” Kata Alan sambil meninggalkanku. Hatiku bagai tersobek-sobek diperlakukan seperti ini. aku menangis meraung-raung di kantin. Banyak yang menertawaiku. Tak ada yang peduli padaku!

“ Za! Papa masuk rumah sakit.” Hadi memanggilku, wajahnya pucat, dia tidak memperdulikan penampilanku. Mungkin papa kritis. Akupun menyeka air mataku, kemudia bangkit menghampiri Hadi.

“ Papa kenapa?” Tanyaku serak

“ Papa jantungan saat tahu kalau kamu ke kampus pakai kerudung, apalagi tetangga pada mencibir.” Kata Hadi sambil menggandeng tanganku. Sudut mataku menangkap sosok yang sedang berdiri memperhatikanku yang sedang digandeng oleh Hadi. Yah dia Alan.

>>>>

“ Jangan biarkan dia masuk!” kata papa saat aku muncul dari balik pintu, tapi aku tak peduli. Ini semua karena salahku.

“ pa..maafkan Eza pa!” Aku meratap

“ Papa maafkan asal kamu janji tidak seperti ini lagi, he’..” nafas papa tersengal-sengal

“ Iya pa, eza janji.”

“ Benar kamu janji?”

“ Demi Allah!”

“Sekarang lepas kerudung kamu” Pintanya, tanpa pikir panjang aku melepasnya dan nampaklah aku yang sesungguhnya.

“ Eza..kamu anak papa satu-satunya, kamu ini harus membahagiakan papa. Jadilah laki-laki yang sesungguhnya!” Papa menatapku lekat.

“ Iya Za! Kamu ini bukan perempuan, tak layak kamu berdandan seperti tadi. Dan sadarkah kamu? Umur kamu sudah 23 tahun. Seharusnya kamu sudah berpikir untuk mencari calon pendamping perempuan yang yang shalehah.”

“ Baiklah ma, Reza nurut apa kata mama dan papa!”

“ Tak sia-sia papa pura-pura sakit.” Kata papa berkelakar

Papa langsung bangkit dari pembaringan dan memelukku. Brengsek ternyata mereka hanya mempermainkanku. Kulepas pelukan papa, aku meninggalkan rumah sakit dengan muka kesal.

“ Eza! Tidak mau berubah!” Teriakku



0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template